Angin tidak akan berhenti menjadi angin, ketika ia berhenti berhembus. Ombak tidaklah berhenti menjadi ombak, ketika ia membentur tepi pantai. Suatu kisah tidaklah berhenti menjadi kisah, ketika kamu membalikkan halamannya.. (Iain S. Thomas, Every Word You Can Not Say)
Saya hanya bisa terdiam, ketika seorang sahabat, curhat ke saya kemarin senja. Namanya Icha berstatus janda anak dua, nyerocos ke saya, “Lelaki itu makhluk yang melelahkan ya, Mbak. Tapi tanpa pendamping, aku merasa hidupku terlalu berat untuk kujalani sendiri. Mbak masih ingat khan, mantan suamiku hobinya selingkuh? Cowokku yang sekarang, setianya minta ampun, tapi cemburuan. Kemana pun aku pergi tanpa dia, aku harus video call ke dia, Mbak. Kadang kupikir: belum jadi suami saja, sudah posesif. Tapi dari pada ribut, malah capek aku. Ya sudah, sepanjang posesif dia tidak pakai kekerasan fisik, ya kuturuti saja.”
Senja itu, saya sih inginnya menasihati temanku itu, “Jangan jadi perempuan dungu. Cari laki tuh yang bener. Jangan cari yang levelnya lebih rendah dari kamu, supaya dia tak ambruk jika kamu bersandar padanya.”
Tapi saya urung mengucapkan barus-baris kalimat di atas. Saya kuatir bila Icha justru sakit hati pada saya, yang memandangnya dungu. Sebaliknya, saya hanya bisa membatin, “Dirimu enak, masih bisa curhat. Saya, mau curhat ke siapa? Curhat ke suami, nanti malah ribut. Cerita ke orang lain, ini masalah keluarga.” Maka diam, menjadi pilihan satu-satunya, ketimbang menyakiti hati orang lain.
Tapi, diam itu menyakitkan diri sendiri. Mungkin, lebih sakit dari mencintai.
“Kita semua ingin mencintai. Kita semua takut sendirian…..Karena pada batas tertentu, kita semua tahu: kamu bisa mati tanpa mencintai…Kecuali kamu peduli pada dirimu, dan membagi cinta untuk dirimu,” kata penulis Iain S, Thomas dalam bukunya Every Word You Can Not Say halaman 66. Buku itu saya baca saat Februari menapaki penghujung bulan, untuk memasuki Bulan Ramadhan tahun ini.
Hayo para cewek, jujurlah: Anda juga mengalami “makan ati” seperti itu khan? Ada banyak peristiwa yang membuat nafas serasa bergumpal-gumpal di dada, karena ada banyak kata yang tertahan di tenggorokan. Tetapi apa iya, kata-kata tak terucap, hanya milik wanita?
Seorang teman —kebetulan ia dari kalangan “berseragam”— juga tak sanggup berkata-kata saat menghadapi jabatan yang tak kunjung didapat. Saya tahu, dalam hatinya ia mengalami keterpurukan karir. Pangkatnya tinggi, kecerdasannya menonjol, dan ia sarat prestasi. Tapi ia tak kunjung mendapat jabatan, konon karena bukan tipe penjilat atasan. Padahal jabatan itu penting bagi pegawai negara seperti dia. Bukan untuk gengsi-gengsian, tapi juga demi penghasilan. Anaknya 4 orang, dan tiga di antaranya masih kuliah.
“Ada hari-hari ketika beberapa orang mengandalkanmu untuk menjadi kuat, sekalipun di dalam hati kamu nyaris mati. Dan hanya bisa menangis ketika tidak ada orang yang melihatmu. Karena kamu sangat takut akan mengecewakan mereka,” kata Iain S Thomas, penulis buku kelahiran Afrika Selatan, yang bukunya laris di sekujur dunia.
Buku karya tak sarat oleh kata, melainkan oleh makna. Dan itu bagus untuk kita berkaca. Thomas, demikian saya menyebutnya, menulis kedalaman pemikirannya, lewat puisi. “Dengan puisi, setiap hari, saya harus menemukan sesuatu yang baru untuk dikatakan. Ide baru tentang sesuatu, atau cara melihat sesuatu yang belum pernah saya pikirkan sebelumnya,” kata Thomas dalam wawancara yang dimuat dalam situs shortstorydayafrica.org. (http://shortstorydayafrica.org/news/ssda-corners-best-selling-author-iain-s-thomas).
Mengapa Iain S. Thomas yang menulis draft baris-baris puisinya menggunakan pensil, tampak memahami perasaan pembacanya? Jawaban Thomas mungkin membuat kita paham bahwa kita tak merana sendirian. Karena ternyata, “Saya berjuang melawan depresi, dan telah mengalaminya hampir sepanjang hidup saya. Jadi sebagian besar dari apa yang saya tulis, ditulis karena saya hanya ingin memberi tahu orang lain tentang perasaan saya.”
Mungkin itu sebabnya, ia memahami dirinya sendiri laiknya ia memahami pembacanya. Dan menulis draft buku dengan pensil, ia akui, membutuhkan waktu lebih lama untuk mencapai akhir kalimat. Tapi itulah metode Thomas, “Saya bisa lebih banyak berpikir tentang apa yang sedang saya tulis. Saya menulis banyak prosa dengan tangan sebelum sampai di komputer, lalu disunting, secara brutal, selama berjam-jam, bahkan berhari-hari. Dan jika saya beruntung, saya akan menghasilkan kalimat yang indah.”
Mencintai diri kita sendiri, seharusnya bukan hal sulit. Tapi kita kerap lupa. Terima kasih kepada Iain S. Thomas, yang telah mengingatkan kita: Bulan Ramadhan sudah di depan mata. Mengapa kita lupa untuk memulainya melalui cara: berdamai dengan diri sendiri dan memaafkan diri sendiri?
Bukankah Mahatma Gandhi pernah berkata, “Yang lemah tidak pernah bisa memaafkan. Pengampunan adalah atribut dari yang kuat.” (*)