“Penyembuhan adalah masalah waktu, tetapi terkadang juga merupakan masalah kesempatan.” – Hippocrates
“Ajakan” bunuh diri (bundir) bisa datang dari mana saja, dalam beragam bentuk, terhadap orang-orang yang berada di titik nadir kehidupan. Saya bukan mau membicarakan bundir, meskipun artikel ini saya tulis saat nyawa THP —pemuda usia 27 tahun di Bekasi Barat— baru melayang di tali gantungan, lantaran judi online. Sebelumnya, pada Januari 2025, nyawa mahasiswi 19 berinisial SHA juga melayang di tali gantungan, gegara merasa terbebani oleh pelajaran kampusnya.
Setipis itukah mental anak-anak muda kita? Masih nyenyakkah tidur malam kita, jika ada 2% remaja usia 15-24 tahun di Indonesia, yang sedang ingin bunuh diri? Itu data 2024. Dua tahun sebelumnya, saat pandemi Covid-19 melakukan “seleksi alam” dengan caranya sendiri, survei kesehatan mental terhadap remaja di Indonesia tahun 2022, mendapatkan hasil : 5,5% remaja usia 10-17 tahun mengalami gangguan mental, 1% remaja mengalami depresi. Sedangkan yang mengalami post traumatic syndrome disorder (SPTSD) sebesar 0,9%, serta attention-deficit/ hyperactivity disorder (ADHD) sebanyak 0,5% dari populasi remaja di Indonesia.
Pandemi Covid-19 bukanlah satu-satunya alasan bagi timbulnya depresi, mengingat Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018 menyatakan bahwa 6,2% penduduk berusia 15-24 tahun mengalami depresi. Banyak penelitian menunjukkan bahwa depresi pada anak terpicu oleh lingkungan keluarga. Bisa berupa struktur keluarga yang njomplang, pola asuh tidak karuan, hingga konflik keluarga berujung keretakan.
Bukan tak mungkin bila anak yang menderita depresi, merupakan produk dari keluarga yang depresi. Bagaimana dengan kita, dan Anda? Jangan-jangan, Anda sedang berada dalam “zona” titik nadir kehidupan?
Hidup tanpa masalah, bukanlah hidup. Tapi titik nadir seseorang, bisa hadir akibat penyakit yang tak kunjung sembuh selama bertahun-tahun, atau sedang terlilit hutang yang tak terselesaikan? Atau ditimpa perasaan malu dan sedih teramat dalam tanpa ada tempat meminta tolong? Atau Anda baru tertimpa bencana kehilangan orang-orang tercinta? Atau Anda baru di-PHK, atau karena kena tipu rekan bisnis? Banyak orang terjerembab pada kondisi mental yang ringkih akibat “luka psikologis”, dan itu kerap menempatkan orang tersebut pada titik nadir.
Kamal Ravikant seorang pengusaha, mendapati dirinya terpuruk tak berdaya, pada 2011. Perusahaan yang ia bina selama lebih dari sepuluh tahun, tiba-tiba bangkrut dengan memalukan. Ia mengawali depresinya dengan pikiran gelap, hati pilu, muak menghadapi hidup. Seiring waktu, depresi membawanya terlentang tak berdaya du ranjang rumah sakit. Namun ia tak mau hidupnya berakhir di ranjang kematian. Hingga suatu hari dalam keputusasaannya, ia merayap turun dari tempat tidur, dan memulai transformasi dirinya. Caranya: ia bersumpah, dan menyanyikan “Hari ini, aku bersumpah pada diriku sendiri untuk mencintai diriku sendiri, memperlakukan diriku sendiri sebagai seseorang yang aku cintai dengan tulus dan sepenuh hati – dalam pikiranku, tindakanku, pilihan yang aku buat, pengalaman yang aku miliki, setiap saat aku sadar, aku membuat keputusan SAYA MENCINTAI DIRIKU SENDIRI.”
“Butuh waktu sebulan untuk beralih dari kesengsaraan ke keajaiban,” kata Kamal Ravikant. Ia bagikan kepada pembaca buku best seller kelas dunia, judulnya Love Yourself Like Your Life Depends on It, yang kini diterbitkan oleh Penerbit Renebook.
Kamal membagikan praktik mencintai diri sendiri yang ia lakukan, yakni membaginya dalam tiga komponen pelengkap, yaitu: mental loop (lingkaran mental), meditasi, dan satu pertanyaan.
Mengenai kinerja mental loop, Kamal melandasinya pada dua alasan utama. Pertama, Kamal mencoba segalanya sambil tetap terbuka terhadap kemungkinan mencintai dirinya sendiri. Artinya, dia tidak akan kehilangan apa pun. Kedua, kita sebagai manusia sering kali keliru mengira bahwa kita sedang berpikir, dan sebagian besar waktu – kita hanya mengingat. Padahal, otak manusia adalah mesin pengenalan pola. Dengan menjalankan pola tertentu dengan putaran yang sudah dikenal otak, maka diri kita tak hanya sekedar hidup, karena otak juga mampu memprogram segala jenis emosi. Maka lingkaran mental yang terfokus, adalah solusinya.
Mengenai meditasi, Kamal punya metode sendiri yang berlangsung selama tujuh menit dan diiringi musik. Sembari diiringi musik, ia membayangkan bintang, galaksi, dan pantai, karena hal itu menumbuhkan perasaan yang baik, disertai tarikan dan hembusan napas, sambil berfokus pada mencintai dirinya sendiri. Lengkapnya, ada tujuh metode dalam meditasi a la Kamal, yang dapat Anda baca di bukunya tersebut.
Sedangkan mengenai metode “satu pertanyaan”, sungguh sederhana: “Jika aku mencintai diriku sendiri dengan tulus dan mendalam, akankah aku membiarkan diriku mengalami hal ini?” Pertanyaan tersebut bekerja dengan baik, karena jawabannya selalu tidak. Jika Anda benar-benar mencintai diri sendiri, Anda tidak akan membiarkan diri Anda mengalami emosi negatif dengan cara yang sangat merusak. Sebab Anda peduli pada diri sendiri, dan mencintai diri Anda sendiri.
Buku ini sangat bagus dan bermanfaat dalam menemani Anda yang sedang terpuruk, patah hati, atau bahkan bagi saudara, anak, dan keponakan Anda yang sedang menuju titik nadir kehidupan. Satu pertanyaan dari saya, “Beranikah Anda mengaku sudah mencintai diri Anda, jika belum membaca buku Kamal Ravikant ini?” (Mardom)