Kolaborasi Jakarta Atasi Pandemi Covid-19
Kisah Anies Baswedan Memimpin Warga Sehatkan Ibu Kota
Sinopsis
Begitu diumumkan sebagai pandemi, pada saat itu saya bilang, “this will be years.” Kenapa? Belajar sejarahlah… Kami ketemu dengan para ahli kesehatan. Kami selalu mengambil keputusan bersama ahli-ahli, menutup sekolah pun atas pertimbangan dari ahli. Bahkan WHO dilibatkan dalam diskusinya. (Anies Baswedan, hal. 173)
Hati dokter Dhuny bergetar hebat ketika si bungsu bertanya. ” Kalau Ibu meninggal, aku masih boleh kan mengunjungi makam Ibu?” Ibu dua anak yang menjadi Kepala Departemen Paru RSUD Pasar Minggu itu berusaha keras menahan air matanya. la memeluk keduanya, diciuminya satu persatu. (hal. 124)
… begitu mudahnya mereka wafat. Ini terjadi di depan mata kami. Detik per detik, menit per menit itu kami memantau pasien-pasien yang kritis… Ya Allah, betul-betul terasa malaikat maut ada di sekitar kita. Itu saat yang tak terlupakan. (Direktur RSUD Tarakan drg. Dian Ekowati, MARS, hal. 188)
Bagai kisah “Bandung Bondowoso” yang membuat seribu candi dalam semalam, Dalam dua hari Direktur Utama Jakarta Experience Board Novita Dewi dan timnya harus menyulap lebih dari 6.000 kamar Rusun Nagrak yang masih terbengkalai agar dapat dipakai pasien Covid-19. Novita harus lembur dan kerap meninggalkan rumah. Sedikit sekali waktu tersedia bagi ketiga anaknya, sampai mereka tertinggal tidak ikut vaksinasi. (hal. 153)
Cuplikan kisah di atas menggambarkan betapa menyeraamkannya wabah COVID-19 di Jakarta saat itu. Walakin, sebelum memasuki 2023, ketika buku ini terbit, penduduk Jakarta sudah lebih lega. Jajaran pemerintah dan tenaga kesehatan Jakarta berhasil mengontrol wabah secara piawai. Bukan hanya pandemi, sebenarnya. Pemerintahan ibu kota juga menunjukkan besarnya perbaikan kesehatan warga Jakarta selama lima tahun terakhir.
Sejatinya, kesuksesan Jakarta dalam menangani pandemi itu tidak bisa dipisahkan dari konsep “Jakarta Sehat” yang sudah berjalan jauh sebelum Maret 2020, ketika wabah mulai menghantui penduduk negeri. Konsep ini mengedepankan pendekatan promotif dan pencegahan, sebelum kuratif.
Namun, perkara itu kadang masih disalahpahami. Padahal alasannya mudah saja: kalau dokter harus mengurus kuratif (pengobatan) saja, artinya rumah sakit dan puskesmas harus hanya menunggu pasien datang karena sakit. Jika begitu, lalu berapa dokter harus menangani para pasien itu, yang jumlahnya bisa meledak pada saat seperti wabah? Berapa tenaga kesehatan, berapa petugas pemakaman harus bekerja siang-malam, meninggalkan keluarga mereka, akibat memuncaknya jumlah kematian? Bukankah mereka juga manusia seperti kita? Itu sebabnya, fasilitas kesehatan wajib mencegah masyarakat agar tidak sakit dan terus mempromosikan cara hidup sehat, lewat usaha preventif dan promotif. Itu sebabnya muncul pemikiran “Jakarta Sehat.”
Profil Penulis
Syafiq Basri Assegaff
Penulis dan mantan wartawan majalah Tempo dan Prospek, editor majalah Archipelago Indonesia Review (Sydney, Australia), sejak 2003 lulusan pascasarjana University of Technology Sydney (UTS) Australia ini mengajar ilmu komunikasi di LSPR Communication and Business Institute, Jakarta. Ketika menjadi wartawan, Syafiq di antaranya pernah ditugaskan meliput Perang Irak-Iran (1983), Perang Teluk (1990-1991), dan pertemuan ilmiah tentang penyakit hati di Jenewa (Swiss), serta sejumlah penugasan lainnya. Dokter lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran (Unpad), Bandung ini pernah bekerja di bagian komunikasi UNICEF, Australia AID, dan konsultan- trainer Particip Gmbh bagi sejumlah LSM di Jakarta.
Sering menjadi konsultan paruh waktu dan memberikan pelatihan bidang relasi publik secara independen untuk berbagai audience, Syafiq berpengalaman sebagai manager public rela- tions dan direktur marketing-public relations di organisasi swasta, di samping menjadi konsultan komunikasi dan media pada beberapa lembaga pemerintah. Sudah menghasilkan tiga buku, ayah tiga anak ini juga pernah menjadi editor beberapa buku sejak tahun 1980-an. Sejumlah tulisan Syafiq dapat dibaca di berbagai media arus utama seperti Kompas, The Jakarta Post, dan The New Straits Times, Malaysia. Email: syafiqb@gmail.com.
Ren Muhammad
Seorang penyintas peradaban, Ren merupakan Ketua Yayasan Candra Sengkala Indonesia, dan pendiri Padepokan Khatulistiwa yang bergerak pada tiga matra kerja: pendidikan, kebudayaan, dan spiritualitas. Ren membidani kelahiran sejumlah buku, seperti Matahari Semesta (2012); ISIS: Kebiadaban Konspirasi Global (2014); dan #SaveIndonesia! (2015). Kini sedang menyiapkan proses pengunggahan buku Islam Tanpa Indonesia. Esai dan kolom Ren banyak diterbitkan di pendahulu media daring seperti Kompas.com dan NU Online. Buah pikiran Ren sering dirujuk para peneliti yang mempublikasikan karya mereka di https://www.academia.edu/. Email: renmuhammad7@gmail.com.
Istiqomatul Hayati
Wartawati Tempo.co dan aktivis pengendalian tembakau. Isti, begitu panggilannya, bergabung di Indonesia Tobacco Control Network, berkolaborasi dengan organisasi pengendalian tembakau mengampanyekan perlindungan anak dari paparan iklan dan konsumsi rokok. Liputannya di Koran Tempo tentang penyelundupan pasal kretek dalam RUU Kebudayaan mengantarnya mendapatkan kursus dua pekan di Johns Hopkins School of Public Health di Baltimore, Maryland, Amerika Serikat pada 2016. Artikel jurnal yang ditulisnya juga berhubungan dengan aturan rokok elektronik berjudul Rokok Elektronik dan Silang Sengkarut Komunikasi (2020). Email: isti.timo@gmail.com.
Ulasan
Belum ada ulasan.